IDETIMUR – Meski awalnya ayahnya mengharapkan Van Axxel mengikuti jejaknya menjadi pemain bola, namun nasib berkata lain. Sejak umur tiga tahun, Van Axxel sudah menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada musik. Ia mengingat betul bagaimana suasana rumahnya selalu dipenuhi dengan alunan lagu dari kaset-kaset yang dibeli orangtuanya.
“Suka musik dari umur 3 tahun karena waktu itu orangtua sering beli kaset. Jaman dulu itu Michael Jackson, MLTR, Bryan Adams, Westlife, UB40. Terus kebetulan om saya seorang musisi, penyanyi lagu rohani juga. Saya suka musik juga karena pengaruh dari om,” ujar Van Axxel.
Ketertarikannya pada musik semakin tumbuh seiring dengan seringnya ia mendengarkan berbagai lagu dari musisi terkenal pada masanya. Selain dari keluarga, Van Axxel juga mendapatkan pengaruh besar dari teman-temannya.
Ia menceritakan bagaimana teman-teman di masa kecilnya sering berlomba-lomba memamerkan speaker dengan bass paling kuat. Momen-momen ini secara tidak langsung membentuk kecintaannya pada musik, terutama genre hip-hop.
“Pengaruh dari teman waktu SD dulu di Lembata, teman-teman saya suka pamerin speaker terus diaduin bass yang paling gede. Kan muter lagu pastinya. Yang saya ingat lagu Eminem. Akhirnya suka lah sama hip-hop,” kenangnya.
Ini adalah awal dari kecintaannya pada genre musik hip-hop, yang kelak menjadi jalan hidupnya. Ia terinspirasi oleh suasana kompetitif dan semangat teman-temannya yang sama-sama menyukai musik.
Van Axxel mengungkapkan bahwa salah satu momen penting yang membuatnya jatuh cinta pada musik adalah saat mendengarkan lagu Michael Jackson. Lagu tersebut tidak hanya menghiburnya, tetapi juga memberikan inspirasi yang besar. Ia mengingat betul bagaimana ia pertama kali mendengarkan lagu tersebut di rumah dan dalam perjalanan di dalam angkutan kota.
“Saya dulu suka denger lagunya Michael Jackson. Saya suka lagunya yang berjudul ‘Black or White’. Itu favorit banget. Pokoknya dari situlah titik dimana saya suka musik. Dengarnya di rumah dan di angkot. Di NTT pada puter lagu Hip Hop waktu itu tahun 2000-an,” ujarnya.
Pengalaman ini semakin memperkuat keinginannya untuk mendalami musik, terutama hip-hop.Tak hanya itu, Van Axxel juga mengaku mendapatkan inspirasi dari berbagai sumber. Ia mulai menyukai rap setelah mendengarkan berbagai lagu dari musisi terkenal lainnya.
“Denger lagu Kera Sakti ada rapnya. Tapi pertama suka rap dari Michael Jackson yang ‘Black or White’. Ini apa sih ngomong nggak jelas tapi enak. Tiba-tiba ada Project Pop. Itu senang banget. Jadi suka aja sama hip-hop. Terus keterusan sama Iwa K dan Bondan,” tuturnya.
Ketika duduk di bangku SMA, Van Axxel pun mulai mencoba untuk membuat lagu. Namun saat itu, ia sama sekali tak memiliki pengetahuan dalam membuat lagu.
Van Axxel hanyalah seorang remaja yang hobi modif dan balap motor. Kesehariannya pun hanya menjual bensin eceran di depan rumahnya. Hanya dengan bermodalkan gitar seadanya, Van Axxel mulai merekam lagu-lagu ciptaannya di ponsel miliknya.
Perjalanan untuk menjadi musisi memang tidaklah mudah. Ia harus berjuang dari bawah dan sering kali menemui berbagai kendala.
“Kebetulan ada kakak kelas saya punya alat buat rekaman. Jadi saya minta masternya. ‘Bang saya mau bikin lagu’. Akhirnya depan sekolah kita mulai bikin lagu pakai beat download. Nge-take lagu cinta,” ceritanya.
Tak hanya itu, Ia juga harus mencari tempat yang sepi untuk merekam lagu-lagunya, bahkan sampai harus mencuri headset dari warnet.”Sering berjalannya dengan waktu teman saya yang beat maker sibuk. Akhirnya saya sama teman yang satunya yang jadi manajer. Bingung kan bikin beat gimana. Ya udah bikin sendiri belajar. Tapi belum tau mixing mastering. Satu hari satu lagu,” katanya.
Pada tahun 2013, Van Axxel memutuskan untuk pindah ke Malang demi melanjutkan kuliah. Di kota inilah, ia menemukan komunitas yang sefrekuensi dan mulai mendapatkan tawaran untuk manggung di berbagai tempat.
Selama di Malang, Van Axxel tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup sebagai mahasiswa, tetapi juga mencari tempat yang tepat untuk mengekspresikan bakat musiknya. Kota Malang yang dinamis memberikan banyak peluang bagi musisi muda seperti Van Axxel untuk tampil dan berkolaborasi dengan musisi lainnya.
“Sampai tahun 2013 pindah ke Malang gara-gara kuliah. Sendiri, mandiri, tetap bawa notebook, beat, dan mic warnet. Eh, ketemu teman yang satu frekuensi akhirnya kita mulai ketemu komunitas. Manggung-manggung juga. Lama-lama belajar bikin beat ketemu sama teman-teman yang mau belajar juga. Lama kelamaan dapat tawaran main di club terus gabung di manajemen punya banyak link akhirnya sampai sekarang,” jelasnya.
Keberadaan komunitas musik di Malang menjadi rumah kedua bagi Van Axxel. Di sini, ia bertemu dengan banyak orang yang memiliki minat dan semangat yang sama dalam musik. Pertemanan yang terjalin di komunitas ini tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga membantu Van Axxel dalam belajar dan memperdalam keterampilan musiknya.
“Lama-lama belajar bikin beat ketemu sama teman-teman yang mau belajar juga. Lama kelamaan dapat tawaran main di club terus gabung di manajemen punya banyak link akhirnya sampai sekarang,” jelasnya.
Melalui komunitas ini, Van Axxel belajar banyak hal, mulai dari teknis produksi musik hingga strategi pemasaran yang efektif. Namun, perjalanan Van Axxel dalam dunia musik tidak selalu mulus. Ia seringkali harus menghadapi tantangan dan rintangan yang tidak terduga. Salah satu pengalaman yang paling menantang adalah ketika ia harus tampil di panggung dalam kondisi cedera.
“Perjuangan suka dukanya gara-gara hip-hop manggung memang nggak dibayar. Waktu itu sempet ada undangan ke Pasuruan. Teman pakai obat-obatan. Di bonceng saya jatuh. Kaki saya tempurungnya luka tapi masih selamat. Kita tidur di emperan toko manggung dalam keadaan tangan diperban. Pulang jalan kaki,” katanya sambil tertawa.
Meski mengalami kecelakaan yang membuat kakinya terluka, semangat Van Axxel untuk tampil di panggung tidak padam. Ia tetap tampil meski dalam kondisi terluka, menunjukkan dedikasi dan komitmennya pada musik. Namun, tantangan tidak hanya datang dari kondisi fisik. Di kampus, ia juga sering menghadapi cibiran dari teman-temannya.
“Di-bully di kampus. Akhirnya saya di kampus temenan bukan orang dalam kampus tapi di luar kampus. Kayak nggak seru aja karena orang ngolok cita-cita saya jadi rapper,” ungkapnya.
Meski sering di-bully dan dicibir, Van Axxel tetap teguh pada pilihannya. Tekanan dari keluarga untuk menjadi pemain bola seperti ayahnya tidak membuatnya mundur. “Ayah pemain bola ingin saya jadi pemain bola. Tapi di-bully terus ditolak ukur sama bokap. Udah lah keluar aja. Males akhirnya pilih musik. Ternyata di musik saya lebih dihargai,” ujarnya.
Keputusan untuk meninggalkan dunia sepak bola dan fokus pada musik terbukti tepat. Dalam dunia musik, Van Axxel merasa lebih dihargai dan bisa mengekspresikan dirinya dengan bebas. Ia tidak hanya menemukan tempat untuk menyalurkan bakatnya, tetapi juga mendapatkan pengakuan dari banyak orang. Perjalanan ini membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja keras, seseorang bisa mengubah nasibnya. Dari seorang yang dulu sering dibully, Van Axxel kini menjadi musisi yang diakui dan dihargai karyanya.
Leave feedback about this